Spread love everywhere you go. Let no one ever come to you without leaving happier – Mother Teresa

Sebelum Nyepi, saya dihubungi oleh tim redaksi Kabar Cikal. Sebuah undangan untuk berkontribusi di majalah sekolah anak saya. Senangnya bukan kepalang karena saya termasuk pembaca rutin yang selalu dibuat terkesima dengan keteladanan para guru dan buah pikir para siswanya. Kesempatan berharga ini tepat pada peringatan Hari Perempuan Sedunia 2021.
Terlalu pelik menyelami dunia perempuan, apa ya yang sebaiknya saya sampaikan dalam tulisan kali ini?
Sehari sebelum Nyepi, seperti biasa kami melakukan upacara di rumah masing-masing. Situasi pandemi masih belum memungkinkan kami untuk pulang ke kampung halaman. Untunglah Ibu dan Bapak di kampung sudah fasih menggunakan teknologi video call. Di sela-sela bercerita tentang pelaksanaan upacara mabuu-buu di rumah, saya menyempatkan untuk ngobrol sama Ibu untuk minta ide tentang perihal menulis di kolom majalah sekolah Charita. Ibu tidak berpesan banyak, beliau hanya mengingatkan bahwa tidak semua yang beliau ajarkan dulu ke saya bisa diterapkan kembali ke Charita. Zaman telah berubah. Tantangan semakin kompleks saja. Beliau mengingatkan kembali nilai-nilai keluarga yang saya ingat betul di luar kepala. Bagaimana tidak? sejak kecil anaknya selalu diperdengarkan tentang itu-itu saja.
“Kamu mesti mandiri, Ibu dan Bapak tidak selalu bisa mendampingi“, demikian kata orang tua saya kompak saat melihat wajah ini keruh nan berkerut bergelut masalah. Saya baru mulai paham maksud perkataan itu ketika berkesempatan hidup di rantauan jauh dari keluarga. Pun setelah punya keluarga kecil ini, saya kembali merenungkan kata-kata itu dalam perspektif yang berbeda. Yang mereka maksud dengan belajar sendiri agar mandiri adalah tak menggantungkan apapun pada siapapun but myself; sedangkan agar saya bisa memilah dan memilih yang sesuai, tentu lebih ke cara penyampaian dan pengambilan contoh riilnya. Jika dulu saya masih merasakan nuansa tegang duduk tertunduk berurai air mata ketika ‘mendapat arahan’ dari orang tua, kali ini cara itu bisa ditransformasikan dalam momen penuh cinta dan penerimaan. Realistis.
“Mah, kita sama-sama punya pengalaman menegangkan ketika dulu bicara sama keluarga. Gimana kalau di keluarga kecil kita sekarang, suasana dibikin lebih santai yuk. Banyak guyon, fair dan terbuka. Anak kita mesti tahu kalau orang tuanya tidak sempurna. Seperti kata Keluarga Kita“. Suatu ketika demikianlah suamiku mengajak bersepakat.
Pada malam lain, saya membaca dalam laman-laman daring bagaimana perjuangan para perempuan di era pandemi bahkan sebelum pandemi. Ini adalah hal krusial yang harus Cha tahu sejak dini, bahwa kenyamanan dan segala privilese yang ia dapatkan hendaknya mampu digunakan untuk kebaikan bersama. Keberanian dan kejujuran dalam berbicara.
“Smart women have voice dan choice” ~begitu kata Komunitas Mahima. Saya pun mampir sebentar lewat pesan singkat meminta restu Bunda Onya. Beliau berpesan, tulisan ini bacakan ke Charita…tuangkan dengan sederhana, walau karut marut itu tak akan teruraikan hanya dalam satu halaman.

Lalu, dalam masa-masa perenungan itu lahirlah bait-bait bertajuk surat untuk anak perempuanku. Saya menulis kembali untuk menransfer nilai keluarga dari Ibu (nenek Cha) yang saya percaya; beberapa praktik baik pola asuh berprinsip cinta dari komunitas berdaya, serta curhat saya sebagai ibu biasa yang sedang sama-sama belajar sambil terus berkarya.
Cerita saya untuk Charita bisa dibaca dengan mengakses bit.ly/KabarCikalVol8
atau mengunduhnya di Website Cikal melalui Kabar Cikal Edisi Maret 2021
Kontribusi ini kami maknai sebagai sebuah sinergi orangtua, sekolah, dan guru dalam memberikan ruang yang aman dan nyaman demi pemenuhan kepentingan terbaik untuk anak. Semoga aktivitas pelibatan keluarga dalam literasi seni dan sastra ini, bisa menjadi pendukung penguatan solidaritas komunitas sekolah untuk belajar dengan merdeka, berkesinambungan.
Selamat Hari Perempuan Sedunia.
Panjang Umur Perjuangan!

Dear Kadek Doi
Teruslah berkarya, tak banyak perempuan yg sempat menulis, bukan tak bisa atau tak punya waktu, tapi belum ada keberanian.
Salam cinta, kasih dan damai dari seorang perempuan yang pernah ada di masa kecil Doi.
Ibu, punapi gatra? dumogi senantiasa sehat dalam limpahan kebaikan.
Suksma atas semangatnya, Bu.
Tiang sepakat dengan yang Ibu sampaikan…
Dalam momen menjadi orang tua baru ini, saya berusaha membuka komunikasi itu sedini mungkin, mengubah pola pikir agar keberanian untuk bersuara semakin terdengar dengan nyata.
Pun bagi rekan perempuan lainnya yang telah berani bersuara, sudah sepatutnya kita belajar menghargai, mendengar dan bersinergi yang positif.
Karena sejatinya, kebaikan untuk perempuan akan berlipat ganda ketika tercipta lingkaran perempuan yang saling menguatkan dan bebas dari penghakiman.