Ternyata kalau diingat-ingat lagi, sering juga ya saya mendengar kalimat demikian disampaikan pada setiap kesempatan. Saya alami sendiri (dan mulai serius berkontemplasi) setelah jadi ibu. Yang terbaru ketika di salah satu grup WA ibu-ibu lagi ramai diskusi soal menyapih anak. “Toh anak ga tahu apa-apa, nanti aja dia lupa”. Kalau saya tanya diri sendiri, iya ya sekarang tidak ingat sewaktu ibu menyapih saya bagaimana prosesnya? Tapi rasa ‘kosong’ yang membekas dalam hati hati seperti perlu mendapat jawaban dan penyembuhan tentang apa yang saya alami dulu. Pun setelah mendengar cerita dari ibu. Beruntung saya sadar dan kembali memeluk diri. Tidak menyalahkan siapapun dan keadaan apapun, saatnya sekarang saya yang mengubah jalan cerita.
Okay, balik lagi ke percakapan buibu dalam sosmed yang selalu ramai (dengan drama pun dagangan) WA! hahaha. Beberapa ibu bercerita tentang strateginya yang berhasil yaitu pisah tidur dan beri air atau susu kaleng-kaleng jika merengek atau haus. Beberapa lagi kasi info untuk oles-oles puting payudara pakai kopi atau rasa-rasa lain yang tidak enak sehingga anak kapok dan tidak mau lagi menyusu. Lalu ada juga ibu-ibu yang membiarkan saja anaknya tetap menyusu walau mendengar ‘tetangga’ mencibir, “haduh giginya sudah lengkap kok masih nyusu sih, malu ih”. Menyimak percakapan para ibu yang mau menyapih bikin saya berpikir, bagaimana pelibatan seluruh unsur yg terlibat sehingga proses yang beranekaragam dramanya ini berakhir win-win solutions. Harus diakui ini adalah tahap negosiasi lainnya dalam dinamika mengASIhi.
Pun saya yang walaupun gemar mencari informASI kadang ikut gerah juga mendengar hal serupa. Pada titik tertentu tidak jarang kelepasan marah apalagi jika sampai kejadian puting dikunyah. Untungnya papski Ayah_ASI, dia yang paling semangat memberi masukan untuk selalu mengutamakan komunikasi keluarga, terutama dengan Cha. Ketika kami bertiga ngumpul dan Cha mau miknok (nenen) kami bahas pelan-pelan, Cha masih suka nenen? sampai kapan mau nenen?bagaimana dengan makanannya? dan lain sebangsanya. Pelan-pelan Cha paham jika aktivitasnya sekarang membutuhkan energi yang lebih besar. Walau belum sepenuhnya menyapih, tapi kini kami sudah punya jadwal menyusu yang tentunya tidak sesering dulu. Proses kali ini lebih banyak membutuhkan strategi dan kesabaran karena menyangkut tiga manusia yang punya rasa dan logika. Anak yang sejak lahir nyaman dalam dekapan ibu, Si Ibu yang merasa aman ketika anak kesayangannya berada dalam pelukan, serta Ayah yang mesti siaga ‘nangkap’ anak jika mulai merenggek tapi di luar jadwal kesepakatan yang dibuat. Mungkin butuh waktu, tapi mencegah trauma dan mengurangi intrik tipu-tipu berujung trust issue, PENTING dilakukan dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga.
Negosiasi dalam proses mengASIhi tiap keluarga mungkin berbeda-beda. Untuk kami yang memilih DBF 100% mungkin berbeda ceritanya dengan keluarga lain yang harus bergelut dengan breastpump atau tata laksana pemberian ASI lainnya. Kali ini, saya pakai contoh pengalaman jalan bersama tadi pagi. Terharu juga lihat Cha hanya lambai-lambai pada gerombolan anak lain. Otomatis tanpa instruksi. Mungkin ia sudah paham setelah berkali-kali kami informasikan keadaan pandemi saat ini. Sebuah contoh nyata bahwa anak usia 2 tahun sudah paham kesepakatan sederhana. Sudah ada komitmen dan kesungguhan untuk mencapai tujuan bersama (dalam hal ini mau lihat ayam dan bunga cantik di taman). Sebuah hasil yang tidak sia-sia tapi memang butuh kesabaran dan pengertian untuk menumbuhkan sebuah disiplin bersama. Harapannya, seperti pagi tadi Cha bisa paham dan sukarela mengubah perilaku dan menentukan sikap kapan siap mandiri, menyapih dengan cinta.
Tapi dalam hal menyapih, siapa sih yang sebenarnya lebih berat membuat keputusan? Anak? Ibu? atau Ayahnya :p
