Bagaimana caranya memberi instruksi tanpa perlu bersikap bossy?
Sebelum kita diskusi lebih lanjut tentang hasil belajar hari ini, mari kita duduk santai dan bahas dulu apa itu Toxic Parenting? (you sing you lose :p)
- Toxic Parenting
Beruntung sekali webinar ini diadakan untuk yang kedua kalinya. Walau bukan webinar berseri tapi ada baiknya sebelum ikut yang kedua kita flashback dulu ke webinar pertama. Dijelaskan oleh Ibu Ifa Misbach, narasumber yang merupakan psikolog (dan senior di ALPHA-I) Toxic Parenting adalah pola asuh orang tua (yang biasanya superior), dipenuhi oleh lingkaran emosi negatif dari orang tua kepada anak (dalam posisi inferior), melalui cara-cara manipulatif, abusive (fisik, psikis, verbal), penuh ancaman untuk membuat anak patuh demi kepentingan orang tua tanpa peduli pada perasaan, pikiran, dan kebutuhan anak. Pengabaian ini biasanya selalu “Tok” merasa ~semua demi kebaikan anak. Wujudnya beraneka ragam mulai dari bahasa keras hingga memelas. Nah, yang biasanya paling susah ditolak adalah ancaman halus (manipulative abusive hidden) misalnya kata-kata seperti: “Memang kamu ga mau jaga nama baik keluarga? Ga malu sama tetangga? Hal semacam ini ga cuma akan menjadi toxic parenting saja namun bisa jadi toxic relationship ke pasangan dan keluarga juga. Yang sudah pasti, hal serupa jika diteruskan tanpa perbaikan dan kesadaran untuk saling memahami, bukannya berdampak baik untuk anak, malah sebaliknya, potensi yang ada dalam diri anak akan terhambat perkembangannya. Sedih kan? stop menjebak anak untuk memenuhi impian orang tua yang tak kesampaian, stop membentuk anak tanpa melibatkan si anak ketika berbicara atau memutuskan hal-hal terbaik bagi anak. Mari mulai untuk belajar menghargai anak sebagai individu. Sejak kecil, walau mereka belum bisa bicara tapi otak dan hatinya sudah mulai menyerap dan berproses. Sekalian belajar, sebagai orang tua, kita coba telusuri jika ada toxic dalam diri sendiri asalnya dari mana? ini kita bahas dalam tulisan lain nanti yuk.
- Rumus Parenting Tidak Rumit!
Bukan menyepelekan, apalagi tidak mengacuhkan. Menjadi orang tua sebenarnya tidak rumit asalkan kita bisa mengatur drama #EfekRumahTangga agar tak berujung tragedi dengan mengimbangi lika liku kehidupan dengan komedi. Well, yang paling sederhana dan bisa kita lakukan adalah mulai menyadari perkembangan anak yang sederhana melalui panca inderanya. Anak belajar dengan mengamati dan meniru ucapan, notasi suara, perilaku, bahasa tubuh orang tua, yang akan terbawa sampai dewasa. Beberapa hal menarik yang bisa saya rangkum dari sesi ini antara lain:
- Melatih keterampilan bertanya dan mendengar.
Hal ini bisa dimulai dari kita sebagai orang dewasa/orang tua. Belajar bertanya, mengajak anak diskusi bukan memutuskan sepihak. Tanyakan anak apakah perhatian yang diberikan sesuai dengan apa yang dibutuhkan anak? tanyakan maksud anak? Dengan membuka ruang diskusi makan kita akan terbantu saat ada keadaan dimana kita merasa sudah memberikan perhatian namun anak merasa tidak diperhatikan. Seperti masa pacaran dulu ya, kita bukan ahli nujum yang bisa menebak isi dalam kepala, strategi yang paling tepat agar komunikasi berjalan lancar adalah dengan menemukan apa yang tersembunyi di kepala anak. Berkomunikasi secara reflektif. Nah, dalam hal ini lah ketika kita merasa sudah mulai melatih keterampilan bertanya, hendaknya dilanjutkan dengan belajar mendengar. Jangan memotong pembicaraan anak SEENAKNYA. Coba untuk kembali menyampaikan secara MURNI, memakai ISI KALIMAT ASLI anak. Praktiknya bisa dilakukan misalnya: Tadi kamu mengatakan bahwa…; kamu tadi bilang merasa…; dsb.
Sambil melatih diri, kita lanjutkan perjalanan dengan mengasah keterampilan anak untuk bertanya dan mendengar. Saya sendiri sempat bingung sekali kenapa sewaktu kecil dulu, ketika saya banyak nanya malah dianggap ‘kelebayan-keingintahuan yang tidak penting-keinginan mencari perhatian’ padahal bertanya adalah sebuah keterampilan yang sangat berguna ketika kita menjalani kehidupan, ya bilang saja saat menempuh studi S2 (HAHAHA, me nailed it). Mulai saat ini mari sama-sama belajar menghargai keberanian anak untuk bertanya. Kebiasaan ini akan membentuk kepercayaan dirinya melalui ungkapan-ungkapan rasa ingin tahunya, biarkan dia bereksplorasi asal dalam koridor aman dan pengawasan kita. Ketika anak bertanya hal yang membuat dia tertarik maka dia juga akan antusias mendengarkan jawaban kita. Ini yang akan melatih kemampuan mendengarnya. Kita bisa berefleksi, bagaimana ekspresi anak ketika mendengar kita bicara? demikianlah yang dia rasakan ketika ia bicara dan kita mendengarnya.
- Apresiasi, memberikan perHATIan.
Memberikan apresiasi bukan berarti memberikan pujian yang melenakan. Apresiasi yang dilakukan dengan sepenuh hati dan tulus akan menimbulkan KONEKSI BATIN oleh hati si penerima. Demikianlah PerHATIan memang hendaknya dilakukan sepenuh hati biar tak sekadar bahasa basi. Belajar adil sejak dalam pikiran bisa jadi kunci keberhasilan. Mengakui kelebihan yang dimiliki anak menunjukkan penghargaan dan dukungan tentang proses yang dijalaninya. Sebuah alur yang bisa dimulai dengan mengamati, menghayati, memahami, menilai lalu menanggapi. Jika bisa didalami kembali, apresiasi itu bisa menular bahkan bisa mengubah mood keluarga dan rumah tangga.
Kadang label anak bermasalah selalu dikaitkan pada perangai atau perwatakan anak. Tapi pada kenyataannya, si anak biasanya cenderung mengalami DEFISIT APRESIASI dari orang dewasa. Jika tidak diapresiasi secara serius maka anak akan tidak peduli pada siapapun, tak acuh pada sekitarnya.
Apabila kondisi defisit ini bisa diketahui lalu diatasi, maka anak akan bisa menjadi dirinya sendiri. Jiwanya merdeka, tidak takut salah atau disalahkan. Ia akan percaya pada kekuatan dari dalam diri serta merasa nyaman karena lingkungannya mendukung proses tumbuh kembang tersebut.
Anak itu seperti tumbuhan, kita adalah tukang kebun yang bisa memberikan dukungan dengan menyiram dan memupuk dengan hal yang positif.
Lalu kapan sebaiknya apresiasi dilakukan? tentu saja bila ada alasan untuk memberikan apresiasi. Sebaiknya jangan menunda, the faster the better. Kenapa? agar tidak menimbulkan persepsi yang berbeda sehingga efek positif dari apresiasi ini menjadi tidak efektif. Berikan apresiasi secara spontan untuk perilaku positif sekecil apapun. Lakukan ketika kegiatan tersebut masih segar dalam ingatan anak untuk meningkatkan rasa percaya dirinya.
- Lalu Disiplin yang Bagaimana?
Disiplin apa yang sebenarnya bisa membantu proses ‘detoksifikasi’ ini berlangsung dengan lebih baik? Praktik disiplin positif tentu jadi strategi utamanya. Mulai bijak mengurangi disiplin yang sifatnya menekan, seperti misalnya saat menjadikan hadiah sebagai sogokan untuk mengubah perilaku. Disiplin positif tak hanya berwujud benda kasat mata. Nilai dan rasa yang lebih besar daripada itu, bentuknya dapat berupa dukungan, semangat, bantuan diskusi dalam menemukan solusi adalah fase pematangan karakter anak dan orang tua itu secara bersama-sama dalam waktu yang mungkin berbeda. Jika hadiah (benda) dipandang sebagai sesuatu yang bisa dipakai untuk mengapresiasi prestasi anak (dalam hal apapun) dengan penyebutan janji-janji sebelum perilaku muncul maka ini bukan disiplin yang tepat untuk anak berkembang. Di dalamnya hanya ada kuasa superior terkait jumlah dan bentuk hadiah yang ditetapkan orang dewasa. Atau perasaaan senang anak hanya bergantung pada motifnya mendapatkan hadiah (lagi dan seterusnya). Hindari pula untuk memberikan pujian yang tidak berhubungan dengan perilakunya. Sejak dini mulai ubah kebiasaan ini dengan memberikan dukungan (solusi) tanpa perlu menjanjikan apapun sebelum perilaku muncul dari si anak. Saya jadi tertarik ketika anak yang komunikasinya sudah mulai terasah mulai kita ajak untuk membuat Kesepakatan (Code of Conduct). Bagaimana caranya? Mari kita bahas tersendiri tentang Strategi Perumusan Kesepakatan Keluarga.
Proses Perkembangan Anak: Kinestetik, Spatial, Musikal, Verbal, Logika.
Disiplin positif mengajarkan kita untuk membangun komunikasi yang lebih baik. Komunikasi tidak hanya antara anak dan orang tua tetapi komunikasi anak dengan dirinya sendiri. Sejak dini mengajarkan anak untuk mencintai diri sendiri, bukan selfish tapi menerima diri apa adanya. Setelah cinta personal, terpenuhi dengan baik yang tercermin dalam ranah kecerdasan emosi dan akal, maka selanjutnya rasa cinta ini akan muncul dalam lingkup sosial-cinta sesama manusia. Setelahnya, konsep cinta kepada lingkungan sekitar tak sebatas antarmanusia saja, tapi berkembang menjadi lebih luas yaitu cinta sesama ciptaan tuhan. Ketika anak mampu menerima, merasakan, menyadari cinta dalam lingkup tersebut, maka cinta kepada Sang Pencipta dalam wujud spiritual (cinta tuhan) akan menjadi pegangan untuknya selalu berbuat kebaikan pada diri dan sekitarnya.
- Anak Patuh atau Anak Sadar?
Poin penting yang disampaikan dalam kegiatan ini adalah perbedaan antara anak patuh dan anak sadar. Anak patuh belum tentu sadar, jika anak sadar maka kepatuhan akan tumbuh sendiri dan dilakukan atas kemauan sendiri. Mari kita pahami perbedaannya berikut ini:
Anak patuh: kontrol eksternal, hukuman dan imbalan, fokus pada perilaku yang terlihat di permukaan, peraturan dibuat oleh yang berkuasa, patuh dalam jangka pendek, perilaku tidak disiplin dianggap sebagai gangguan yang mengancam, pendidik berperan sebagai polisi dan hakim.
Anak sadar: kesadaran internal, konsekuensi logis dan solusi, fokus pada akar munculnya perilaku (kebiasaan, keyakinan, pola pikir), peraturan dibuat bersama anak, kesadaran dalam jangka panjang, perilaku tidak disiplin dianggap kesempatan untuk mengajarkan keterampilan memenuhi komitmen, pendidik berperan sebagai pelatih emosi.
Nah, setelah memahami perbedaannya lalu negosiasi dan investasi apa yang akan kita lakukan bersama anak. Apakah anak menjadi patuh atau ia dapat menjadi manusia yang punya kesadaran?