Hari ini saya mengikuti webinar yang diselenggarakan oleh Yayasan Helping Hands, Yayasan yang mempromosikan nilai inklusivitas terhadap disabilitas dengan aktif menyelenggarakan program pengembangan karakter yang inklusif dan kolaboratif. Pertama kenal tentang webinar dan yayasan ini dari postingan Kak Rennjes, idolaku di RANGKUL yang juga menjadi narasumber dalam acara ini. Pembicara lainnya adalah Ibu Anggia, Psikolog; Ibu Guru Uti yang merupakan tenaga pengajar di SLB; Ibu dari Dhafa dan Rasya, anak berkebutuhan khusus yang berprestasi. Pengalaman belajar dari seluruh narasumber bisa dibaca pada tulisan, “Membangun Empati Anak Agar Mampu Menerima Diri & Lingkungan Beragam. Kali ini, saya akan bercerita pengalaman belajar dari sesi komunikasi efektif, Keluarga Kita.

Setelah menyimak penjelasan para narasumber, ternyata secara tidak sadar (atau sadar) ternyata kita kerap kali melakukan komunikasi yang tidak efektif, seperti menolak perasaan, memberikan nasehat tanpa diminta, menginterogasi dan terlalu banyak memberikan perintah. Saya mencoba menceritakan kembali beberapa poin yang saya dapatkan ketika mengikuti praktik komunikasi efektif sebagai usaha menumbuhkan empati anak.
- Menolak perasaan sebaiknya diganti dengan berempati
- Seringkali dalam percakapan bernuansa keakraban saya mendengarkan respon atau kalimat yang ternyata merujuk ke dalam penolakan perasaan, seperti: “ahhh…gitu aja jangan baperan deh. Senggol bacok amet sih ga usah ditanggepin lah yang begituan…”. Atau malah ada percakapan intrapersonal yang juga mampir di kepala saya sendiri, ” Jangan cengeng ya Doi. Kamu ga boleh nangis, kamu harus kuat, kamu tidak boleh lemah”.
- Ternyata kalimat tersebut bisa diganti dengan lebih efektif, menjadi: “Aku paham perasaanmu. Pasti ga nyaman rasanya ketika mendengar orang lain membicarakan hal yang ga benar tentang kita.” Ke diri sendiri pun kita harus belajar berempati, dimulai dengan belajar menerima, mendefinisikan dan mengelola emosi tersebut. Jadi dibandingkan dengan mengibarkan bendera #PositiveVibesOnly kita bisa meresponnya dengan “it’s ok to not be okay, Doi.” ~butterfly hugs. Sungguh Korea dan kekinian kan? *wink-wink tapi dijamin manjur!
- Memberikan nasihat tanpa diminta sebaiknya diganti dengan refleksi pengalaman
- Nah sebagai kaum yang (berniat baik) suka berbagi pengalaman namun terkesan memberi nasehat. Memperbaiki cara komunikasi memang menjadi satu-satunya cara agar daku tidak hilang koneksi. Kenangan masa lalu yang dihadapkan pada, ” Tuhkaaan…apa ku bilang!?”, “Makanya kalau sudah ku ingatkan… bla…bla…bla… and soon and so forth! ternyata terulang dan terlontar lagi dari mulutku. Walapun yaaa… aku tahu, paham dan percaya itu bukan cara berbicara yang baik tapi suka keceplosan saja kalau kondisi berbicaranya dalam keadaan kurang waras HAHAHA (tapi kok hobi? keplak!
- Oleh karena itu untuk mengemas perihal tersebut menjadi lebih berempati, maka sebaiknya diubah penyampaiannya menjadi, ” (sebutkan perilaku/kejadian) sama seperti aku dulu (akibat yang aku rasakan). Nah akan lebih baik juga jika memang sudah diperkenankan untuk berbicara. Jadi sebelumnya ya jadilah pendengar yang baik dulu tanpa menginterupsi.
- Menginterogasi sebaiknya diganti dengan menyatakan pengamatan
- Aku dulu pernah merasa jadi pribadi yang annyeong banget eh annoying! :p Niat hati mau menunjukkan perasaan khawatir namun terbaca bagai seorang Doi Edogawa yang sedang interogasi tersangka. “Kok ga ngabarin? Mukamu kok cemberut gitu? Kok telat balas pesanku?” WKWKWK aduuuh ampun DJ mungkin ini adalah sebuah pelampiasan emosi yang salah caranya. Aku yakin sekali dua kali pasti dimaklumi, tapi kalau berkali-kali sudah pasti empeeet lah ya. Pun demikian, kali ini aku berhati-hati sekali agar ‘eling’ dan tidak menampakkan sisi itu lagi ke suami dan anak. Lalu mesti bagaimana?
- Sebelum menggebu-gebu memborbardir anak dan pasangan kita dengan banyak pertanyaan. Ternyata hal yang bisa kita katakan (agar tak kikuk juga) adalah dengan mencoba mengutarakan apa yang kita amati. Jika pasangan terlambat datang saat memenuhi janji jemput usahakan tidak mengeluarkan jurus 5W1H atau kata Uda Lanin, ASDIKAMBA disebut juga ADIKSIMBA oleh para netizen. Ingat, kita bukan kuli tinta yang sedang dikejar tengat berita. Kita adalah manusia yang sedang berusaha mencerna segala kemungkinan yang bisa menyebabkan si dia telat jemput. “Jemputnya telat dari jam kesepakatan, sepertinya capek. Mau minum dulu ga? HAHAHA (jujur…kalimat ini masih dalam tahap belajar kalau disampaikan ke pasangan. Karena setelah beranak, ditinggal ke Indom**** saja sudah minta lekas balik) Tapi worth it untuk dicoba, namanya juga masih latihan ~eyaaa. Nah ternyata yang lebih gampang saat mau mencobanya ke anak. Pernah Cha nampak keasikan dan terlalu lama menikmati suguhan COCOMEL** sungguhlah penting kita jangan ikut comel. Jadilah ku coba bilang “Wah…sepertinya jam menonton sudah mau berakhir nih. Sebentar lagi jam mandi/makan, Momski/ Papski siapkan air/makanannya dulu ya.”
- Memerintah diganti dengan memberikan pilihan atau antisipasi
- Nah kebiasaan meniadakan pilihan juga bisa terjadi kalau ternyata kita terlalu banyak memberikan perintah. Alih-alih merasa diberi perhatian, anak malah merasa lagi latihan militer hehehe…Kalimat yang mungkin sering terucap adalah, “mau makan sekarang atau ga usah makan aja/mati kelaparan? 🙁 ~ Mau pergi sekarang atau ga usah sama sekali? ” Nah perintah ini juga rentan dengan mengancam. Memberikan tekanan pada saat anak harus memutuskan tentu tidak akan memberikan pengalaman yang baik untuknya.
- Segala bentuk perintah sebaiknya dialihkan dengan menyediakan opsi/pilihan yang jelas. Misalnya: mau makan sekarang atau 30 menit lagi? bukannya memberi opsi fatal yang tak mungkin dipilih anak. Memberikan pilihan yang fair juga memberikan pengertian bahwa kita bisa merasakan kondisi si anak. Bahwa iya sedang malas makan namun memang harus makan untuk kebaikannya. Lama memang prosesnya…kadang alot…tapi sekali lagi ini sangat worth it untuk dicoba dan diperjuangkan.
“Keluarga adalah pendidik pertama dan utama untuk anak belajar berempati. Mari belajar bersama, berikan dan fasilitasi kesempatan itu”
PS: Yuk simak #KataKita , sebuah tool yang dibuat oleh Yayasan Helping Hands untuk melatih empati. Dengan menggunakan kartu berisi pertanyaan-pertanyaan, dua individu yang belum pernah bertemu sebelumnya dipertemukan dalam sebuah social experiment secara virtual. Bagaimanakah toll ini bisa membantu mereka dalam memulai sebuah dialog? selamat menyaksikan!