
Berempati adalah salah satu praktik baik yang perlu aku gali dan pelajari. Ketika berinteraksi, kadang aku masih keliru memberikan respon atau bahkan ternyata salah mengartikan apa yang ditampilkan di hadapanku. Kembali belajar bersama profesor Cha. Kami bereksperimen dan bereksplorasi, belajar berempati.
Belajar berkelanjutan.
Sebelum menekuni pendidikan keluarga, aku merasa belum cukup mampu untuk praktik komunikasi efektif dan mengelola emosi saat bersama keluarga. Suasana nyaman kadang membuatku jadi egois, meniadakan unsur konfirmasi dan membiarkan insting naluriah seakan sama mengalir dalam darah. Sebaliknya, kadang ada rasa tidak nyaman yang membuat mulutku otomatis kelu. Saat seperti inilah aku merasa bahwa ini adalah ‘inner child’ yang mau menyapa.
Pada beberapa kali pelatihan dan ikut sesi di Keluarga Kita, aku semakin menyadari bahwa emosi yang hadir itu tak semata dirasakan namun semestinya diungkapkan. Untuk bisa mengungkapkan, tentu harus tahu bentuk emosi apa yang sedang kita rasakan. Tak hanya berhenti saat merasa dan mendefinisikan, kita pun harus bisa belajar seni mengungkapkannya. Ada strategi agar apa yang kita maksudkan dapat tersampaikan dan diterima dengan baik. Aku mengamati, beberapa labeling yang sungguh tidak nyaman malah diberikan pada mereka yang hendak berempati. Menunjukkan empati bukan sebagai sensian atau baperan! Duh! bawaannya lapeeer (itu mah aku) tapi terbawa perasaan)
Aku memilih untuk menanggapinya dengan, “Ga papa kok…itu tandanya masih punya perasaan kan?” 🙂 ~jangan lupa emotikon senyum.
Kembali ke strategi dan praktik dalam menumbuhkan empati sejak dini. Dalam pelatihan pendidikan keluarga yang aku ikuti, disebutkan ada empat cara yaitu:
- berempati kepada anak
- mengenali dan menghindari stereotip
- mengidentifikasi dan mengelola emosi dengan baik
- memberi kesempatan mencoba
Berempati adalah cara untuk menunjukan perhatian dan usaha kita dalam memahami kesulitan anak. Praktik berempati bisa kita mulai dari memperhatikan hal-hal kecil yang disampaikan oleh anak. Mendengarkan keluh kesahnya lalu mencoba memilih alternatif komunikasi yang lebih efektif.
Mari terus berlatih!

Saya orangnya sering ga enakan, sering merasa bersalah. Misalnya ada temen yg agak berubah sikapnya, saya jadi kepikiran, saya salah apa ya.. Kadang malah kepikiran terus dan mengganggu konsentrasi utk hal lainnya.
Pasti ga nyaman sekali ya rasanya kalau sering merasa demikian. Kepala rasanya sibuk terus berpikir ini itu. Tapi itu hal yang wajar dirasakan.
Saya salut sekali Bli Wira sudah bisa mendefinisikan dengan baik emosi dominan yang dirasakan, seperti merasa bersalah, tidak enakan dan khawatir. Yang sering terjadi kita sering tidak mengenali emosi kita sendiri lalu salah meresponnya.
Semoga bisa lekas mengantisipasi atau menemukan solusi yang tepat dalam mengelola emosinya biar tidak mengganggu terus Bli, hehehe…