
Aku selalu (berusaha) berpikir bahwa orang baik akan selalu mendapatkan kebaikan di manapun berada. Jika jadi orang baik, maka orang baiklah yang akan di sekitar kita. Jika berkata baik, maka ucapan baiklah yang akan kita terima.
Lekat dalam ingatanku nasihat tetua, “berbuat baiklah maka lingkunganmu akan membalas dengan kebaikan pula”.
Menghadapi kenyataan, aku paham bahwa kebaikan (memang) tidak selamanya bisa diterima dengan baik pula.
- Dalam Pekerjaan.
Walaupun belum genap sepuluh tahun aku bekerja secara profesional (entahlah dalam bidang apa aku ingin mengklasifikasikan diriku sebagai pekerja profesional) aku mendapati kenyataan bahwa niat dan ide yang baik belum tentu ditanggapi dengan positif pula. Katanya, ‘baik itu relatif dan baik menurutmu belum tentu baik untukku’.
Pun aku, ketika menjadi pengambil kebijakan. Walau sudah berusaha namun seringkali aku merasa tak dapat memuaskan semua pihak atas keputusan yang ku buat. Ya, aku paham setiap orang pernah mengalami hal ini. Dari kebanyakan yang terjadi di saat lalu, aku selalu dipatahkan dengan jumlah pengalaman dan siapa yang lahir terlebih dahulu. (Ah…padahal kita tahu tua itu pasti, dewasa itu pilihan). Hal lainnya adalah ketika niat atau ide baik kita untuk memberikan yang terbaik, sering dimentahkan oleh berbagai macam keterbatasan dan pembatasan.
Memang susah bekerja jujur sendirian jika lingkungan mendesakmu pada kemunafikan.
Jika sudah berada dalam situasi ini, dalam kepalaku hanya ada dua pilihan. Perkuat antivirus, atau pergi secepatnya. Pilihan pertama sudah pernah aku jalani dan ternyata aku hanya manusia biasa yang juga bisa ‘lelah dan gerah’. Kini aku sedang menjalani pilihan kedua. Pergi, untuk kembali dengan isi kepala dan senjata yang lebih lengkap. Kebaikan tak bisa dilakukan sendiri apalagi tanpa persiapan apa-apa.
Dua poin penting dalam hal ini, bekali diri dan tularkanlah kebaikan itu.
- Dalam Keluarga.
Aku mungkin satu dari sekian banyak orang yang juga pernah terpapar dengan kalimat, “ini demi kebaikanmu kelak” yang disampaikan oleh keluarga, entah orang tua, saudara, atau orang-orang terdekat yang memang (mungkin) sebenarnya berniat baik untuk kita. Aku sempat menjadi pendengar yang baik, sempat pula berargumen atau bahkan tidak mendengarkan sama sekali apa yang mereka sampaikan kepadaku. Kadang aku berpikir mereka yang egois, memaksa pengalaman mereka untuk diterapkan pada kehidupanku kini. Di lain hari malah aku sendiri yang merasa terlalu egois dengan segala macam pilihan hidup yang aku pilih. Tapi sejauh ini aku masih bisa berjalan ke arah yang positif dari kebaikan-kebaikan yang aku pilih sendiri.
Tentang pilihan hidup dan masa depan, yang akan aku jalani dan tengah aku lakoni saat ini.
- Dalam Asmara
Belakangan ini aku selalu lebih sensitif jika mulai bercerita di sini. Apapun itu pasti sempat-sempatnya nyerempet ke bagian asmara. Tapi ya begitulah, karena aku hidup dalam limpahan kasih sayang jadi mau tidak mau ya mesti nyerempet cinta-cintaan. ahh…cinta deritanya tiada akhir. *apeu*
Aku tidak pernah paham alasan seseorang yang harus berpisah atau mengakhiri sebuah hubungan karena alasan ‘terlalu baik‘.
Oke, kalimatku mulai rancu dan berbau curhat.
Pernah suatu ketika temanku bercerita dengan murung, dia ditolak cintanya.
Aku heran apa tidak ada alasan yang lebih masuk akal dari kalimat, “Maaf kamu terlalu baik buatku, aku takut tidak bisa membalas kebaikanmu dan kita akan baik-baik saja jika menjadi teman”.
Belakangan kalimat-kalimat itu menghantuiku dengan berbagai macam pertanyaan dan asumsi-asumsi di luar logika. Penggalan kalimat pertama, kamu terlalu baik buatku (aku bingung apa ini membuat sebuah hubungan akan sulit berkembang? karena sungkan? karena kurang tantangan?). Aku takut tidak bisa membalas semua kebaikanmu (apa sebuah hubungan adalah kompetisi? haruskan setiap kebaikan dibalas? apakah yang berbuat baik selalu ingin mendapatkan balasan yang SERUPA dengan apa yang dia lakukan sebelumnya?). Baiklah bagian ketiga yaitu, Kita akan baik-baik saja jika menjadi teman (mungkin kalimat ini memang cukup halus untuk sebuah penolakan. Tapi yaaa, terkadang hubunganku dengan teman pun tak baik-baik amat jadi ya jangan terlalu berharap). Begitulah kira-kira.
Itu hanya sebagian dari kalimat penolakan. Nah, kalimat putus cinta juga serupa tapi tak sama dengan itu. Entah memang butuh orang yang tidak baik (jahat?) untuk dijadikan pasangan, atau memang karena sebenarnya sudah menemukan yang lebih baik dari yang sebelumnya? tapi menurutku pribadi, alasan putus karena pasangan terlalu baik adalah sebuah hal yang mustahil (tapi ternyata ada. ADA).
Duh sebelum semakin ngelantur dan dituduh galau lagi (padahal memang galau), aku lebih baik cuci muka dulu sebentar. Curcol ini sebenarnya hanya cerita random ngelantur saja. Mengelabui keram kaki dan seluruh badan akibat berlapis-lapisnya pakaian yang aku kenakan (demi hemat bagasi~thanks tipsnya). Well, berarti kebaikan bisa jadi berkebalikan jika tidak diniatkan dengan baik?
Ahh…aku cuma mau mengingat perasaan senangku ketika berjumpa dengan sopir taksi baik, yang memberikan potongan harga subuh tadi. Senang bertemu dengan bapak paruh baya yang menawarkan kursi dekat jendela di pesawat agar aku bisa melihat pemandangan langit dalam penerbangan kali ini. Bersyukur sekali dengan kebaikan-kebaikan yang aku dapatkan selama ini.
Semoga kita selalu dalam kebaikan!
PS: Setidaknya setelah menjadi korban “kamu terlalu baik buatku” aku tidak kapok untuk BERUSAHA mengelilingi diri dengan kebaikan-kebaikan.
Dari Dallas-Texas menuju La Guardia NYC, 1:53PM (Mon, Aug 31, 2015)