Negara kita negara tropis, mana ada virus yang kuat bertahan lama. Dari Singapura langsung loncat ke Australia lah! #NyebakGoarGoar
Mungkin ini bisa jadi momen peralihan yang cukup warbiyasak bagi kami. Sungguh, bahkan untukku yang memiliki latar belakang ilmu kesehatan jadi merasa belum ngaruh juga si Corona. Awal bulan kami masih sempat ikut sesi, jalan-jalan santai di depan rumah belum pakai masker walau semakin hari merasa sudah mulai perlu membatasi bepergian. Gregetan ini tak didukung oleh lingkungan dan situasi yang masih santuy aja seperti kata pepatah…persis sebelum badai besar menghantam!!!




Keruwetan tak hanya terasa saat interaksi mulai dibatasi. Kami stop segala jenis pelayanan bantuan rumah tangga, tidak ada obrolan dengan tukang sayur dan pedagang lainnya karena semua barang yang masuk harus melewati filter ketat di pos satpam. Kami mulai mengadakan semprot-semprot rumah dengan desinfektan. Entah kenapa rame juga yang bikin bilik sterilisasi ~oh my namanya juga proses belajar ya. Waktu itu kita belum tahu siapa sebenarnya si KORONCES ini. Semua pencegahan digalakkan. Kota sepi lumpuh dan seperti mati. Tapi tak serta merta membuat masyarakat berubah dan mau peduli.
Papski mulai kerja dari rumah karena masuk jadi golongan karyawan yang berisiko terpapar virus. Maklum karena kami bergantung pada transportasi umum. Bulan ini karut marut mulai terjadi dengan membludaknya kasus kluster perkantoran yang juga erat kaitannya dengan penggunaan kendaraan umum. Seperti blessing in disguise aku merasa cukup terbantu sih dengan keberadaan papski di rumah. Selain ga mesti cerita ulang tentang betapa lelahnya aku hari itu, papski juga bisa ngerjain pekerjaan rumah di waktu jedanya. Sebenarnya kasihan juga apalagi Cha tampak antusias ngekor terus kemanapun papskinya pergi (bahkan sampai ditungguin depan kamar mandi dong pas pipis LoL ~maklum ya ngidam suami pas hamil dulu :p) Kami bersepakat untuk mengatur strategi agar urusan masing-masing tidak terbengkalai. Sungguh ini jadi ujian kekompakan masa-masa genting berumah tangga.









Menjalani hari-hari selanjutnya kami berusaha mandiri melakukan apa saja dari rumah. Di sosmed sudah muncul beberapa tagar yang menjelma mantra untuk ku putar otak bertahan dari kebosanan. Kegiatan pertama yang kami lakukan adalah mendesain kembali rumah agar bisa dimanfaatkan dengan optimal. Cha mulai kami sewakan mainan agar betah seharian di rumah aja. Karena ia baru dapat hadiah boneka dari Bali, kegiatan jalan-jalan pun rutenya hanya kamar-dapur. Aku yang tak terbiasa masak harus belajar masak mengingat ga terbayang kelanjutan situasinya seperti apa. Selain masak, aku juga rajin bikin jamu, berjemur dan olah raga online (walau saat nulis ini aku cekikikan kebiasan olga tak bertahan lama HAHAHA ampun!).
Penyesuaian yang kami lakukan selain untuk diri sendiri, keluarga dan rumah juga terkait dengan kebutuhan dari luar. Aku mulai gencar berkebun sebagai persiapan kalau peristiwa 98 terulang kami tidak kelaparan! (benar kami mikir keosnya hingga demikian peliknya! hiks). Selain berkebun, aku juga mengasah keahlian potong rambutku. BARBARaSHOP (barbershop nan barbar) mau tidak mau suka tidak suka, Cha dan papski adalah pelanggan tetap salonku. Bulan Maret ini terasa lucu sekaligus menegangkan. Kebayang kan…di kepala ku berputar-putar makhluk terminator bernama corona! Ketakutan ibu baru, seorang anak anak yang orang tuanya menginjak usia lanjut…
One thought on “~tentang Maret yang Ruwet”