Posted in Tentang Racau

~Tentang Kemungkinan

“Mungkin kita tidak punya kemampuan untuk mengampuni. Yang bisa kita lakukan adalah berdamai dengan sisi lain manusia yang tak kita mengerti. Setidaknya itu membuat kita tidak mengutuk atau membalas dia.” Ayu Utami, Lalita.

Montclair, Fall 2014.

Dulu aku orang yang sangat keras kepala. Tunggu…maksudku dulu sangat keras kepala dan sekarang masih tetap keras kepala. Walau akhirnya aku sadari kalau aku sempat bertumbuh menjadi orang yang cenderung penurut dan sangat takut melanggar aturan. Aku sempat berpikir bahwa aku akan selamanya sekaku itu. Tidak berniat berbelok, jika semua memang diinstruksikan untuk lurus saja. Bertambah usia, makin banyak aku bergaul. Ternyata penyimpangan dan ketidakadilan di lingkunganku membuat pola pikirku berubah. Aku paham bahwa tidak semua aturan bisa menyelesaikan masalah, akupun jadi tahu tidak semua peraturan dibuat untuk tujuan yang mulia.

Kepada orang tua, aku mulai sering beradu argumen. Mulai dari masalah sederhana semacam ide ikut kemah hingga masalah masa depan memilih jurusan kuliah. Dibandingkan kakakku sudah pasti orang tuaku akan menyiapkan super ganda kesabaran untuk menghadapiku. Aku paham itu, aku tahu itu. Keyakinanku adalah menentukan jalan hidup sesuai dengan pilihanku, bagiku orang tua adalah sumber doa dan restu.

Aku ingat saat itu bulan Agustus 2014. Sesaat setelah aku menyelesaikan kelas matrikulasi statistik di Kampus UI Depok. Kepalaku masih pusing, bukan karena bergelut seharian dengan  t-test, ANOVA, regresi dan sebangsanya tapi ini efek terjaga hingga subuh untuk mempersiapkan penerbangan perdanaku ke Kupang. (ini tentang wawancara beasiswa, ada di cerita sebelumnya). Sepulang kelas aku langsung naik kereta menuju stasiun Kota lalu berkendara dengan taksi gelap menuju bandara, pulang ke Bali.

Sesampai di rumah tidak seperti biasanya aku hanya diam saja, sejujurnya karena memang sedang sangat lelah. Orang tuaku memulai ceramah tentang kaburnya aku ke ibu kota dan tak acuh pada petunjuk dokter. Entah bagaimana (sejujurnya tidak mau mengingat tapi penting untuk reminder diri) aku mulai berbicara dengan nada tinggi. Aku sudah bisa mengatur diriku sendiri dan seterusnya dan seterusnya. Tidak bisa berbicara banyak, aku tuntaskan dengan menangis. Ya, aku cengeng sekali. Jika senang, aku menangis. Jika sedih, aku menangis juga. Marah menangis. Kangen menangis. Kadang kalau bingung aku juga nangis saja sudah. Duh, bosan sekali sebenarnya menangis. Mungkin benar saran temanku, agar aku membeli maskara yang mahal biar berpikir dua kali untuk menangis.

Sebelum kata ‘menangis’ menjalar kemana-mana, aku ingin menyentil diri lagi, random saja perihal ketidakmungkinan yang ternyata mungkin saja menjadi nyata. Usiaku hampir seperempat abad dengan beberapa sifat yang mungkin saja dapat ku perbaiki lagi. Setidaknya hatiku tidak boleh sekeras kepalaku. Ya.

Tentang sebuah ketidakmungkinan yang menjadi mungkin. Apapun. Jika Dia berkehendak.

2 thoughts on “~Tentang Kemungkinan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *