“suntuk banget nih di rumah, butuh udara segar. Mungkin berwisata sesekali ga apa-apa deh, aku kan taat protokol kesehatan”
“kangen nongkrong dan jumpa teman. Kalau ga ada konsumen, cafe resto mungkin bangkrut beneran”
“susah bagiku yang ekstrovert harus stay #dirumahaja semuanya sudah ku lakukan tapi rasanya iri lihat orang lain kok leluasa unggah aktitivas luangnya di luar rumah”
and so on… and so forth.

Bukan dari mana-mana, obrolan itu muncul di kepalaku sendiri. Sebenarnya ada banyak penyangkalan-penawaran yang bersliweran di kepala namun sungkan untuk aku ungkap ke media dan sesama. Bukan tidak mau bercerita, tapi takut buah pikir dari kondisi tidak stabil malah mentriger perilaku orang lain untuk melakukan yang serupa. Kata-kata dalam kepala, infeksius tanpa kelola.
Mungkin di rumah inilah aku paling sering bercerita, betapa sudah muak-lelah-jenuh menghadapi situasi pandemi saat ini. Kadang suka teriak dalam hati sampai kadang mati pun sampai kebawa mimpi. Ketakutan yang bermunculan bukan lagi karena kasihan pada diri sendiri, aku memikirkannya sebagai sebuah bentuk ego yang tentunya memaksa orang-orang yang ku tinggalkan harus rela tetap berdiri dan berlari melanjutkan segala yang sempat terkait pada diri ini. Ya…aku takut mati bukan karena sedih jika tahu karma baikku belum cukup mampu untuk menempatkanku pada alam yang lebih baik di atas (bawah) sana. Cemas kehilangan periode emas menemani anakku bertumbuh, gelisah tak hadir dalam masa-masa renta orang tuaku semacam menimbulkan kesan yang nirguna. Sesak ga sih tiap komunikasi dengan orang rumah selalu ditanyain “kapan pulang? ini pemerintah dan orang-orang udah pada work from Bali.” ~ berhembus jadi debu.
Jadi flashback setahun belakangan…Entah godaan atau memang rejeki hadir dalam waktu yang tidak tepat. Tiba-tiba masa COMEBACK ku setelah jadi WAMIL (wanita hamil) seperti dihujani banyak berkah. Banyak tawaran, peluang menarik dan menguntungkan secara finansial dan sosial berdatangan. Aku girang bukan kepalang…namun mau tidak mau ku mundur pelan-pelan. Yah…sedih, menolak melakukan apa yang dirindukan dan dicintai sungguh bikin perih.
Mulai dari aktivitas volunteer, memandu acara, berdiskusi, pertemuan dengan kawan, terpaksa dengan berat hati ku hentikan. Beberapa mengalihkannya menjadi acara daring, sisanya tetap berjalan sesuai protokol. Aku yang tahun lalu masih meneteki juga sangat bergantung pada kendaraan umum. Tentu kombinasi itu membuatku tidak egois untuk memilih bekerja di luar rumah, jika ternyata bisa ku kondisikan. Tentu kondisi yang tidak hanya ideal menurutku, namun juga untuk anak-suami-dan keluarga besarku. Ada perasaan sedih dan kecewa, di sisi lain aku tidak boleh menyerah. Dalam hati aku berkontemplasi, mungkin cuti kali ini adalah imbauan mengambil Jeda, sambil terus BERTAHAN.
Well, aku sendiri awalnya tak menduga bisa sekonsisten ini menerapkan protokol kesehatan, bisa sanggup seanteng ini melakukan isolasi mandiri dalam kondisi sehat dan keluarga kecilku bisa manut menjalankan kesepakatan bersama. Ya…aku, suami dan anakku memilih untuk mempositifkan diri #dirumahaja demi meminimalisir kontak dengan dunia luar (yang tidak bisa kami kendalikan). Terhitung sejak Maret 2020 aku tidak pernah berkendara di jalan raya. Karena kami menggunakan jasa transportasi massal, tentu pilihan ini kurang aman dan nyaman dalam situasi sekarang. Kendaraan aktif di rumah hanya sepeda lipat dan balance bike milik Charita.
Lalu kangen ga jalan-jalan plesiran? kangeeen! lah kan banyak taxi online yang sudah terverifikasi aman berkendara. Tempat wisata sudah memberlakukan taat protkes, vaksinasi sudah mulai dijalankan serentak. Iya Bemby…itu tidak serta merta membuat warga jelita (sebutan bagi rakyat biasa nan memesona) pergi seenaknya dan hilang cemas dalam sekejap. Kalaupun akhirnya bisa berwisata entah kenapa aku merasa berdosa jika menimbang banyak yang ingin #dirumahAja namun harus keluar rumah karena urusan penting atau bekerja demi bisa makan. Hiks… jadi mari kencangkan ikat kepala dan wisata virtual dulu biar tetap waras.
P.S.: Boleh ga yang uda jalan-jalan story bahagianya disimpan buat diri sendiri aja, ga usah sliweran di sosmed. Hiks…tentu aku ga bisa komen ini secara langsung. Cukup dalam hati saja.